Minggu, 22 Juli 2012

MODERNISASI PESANTREN SALAF


Pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pesantren juga telah terbukti memberikan banyak sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional dengan meningkatkan Sumber daya manusia yang memiliki ketakwaan terhadap Allah SWT dan memupuk generasi berakhlakul karimah, lembaga ini layak di perhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, serta moral.
Sistem pengajaran pesantren sudah dikenal sejak lama jauh sebelum Negara kita ini merdeka. Pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat. Bahkan pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat sekitar walaupun pada saat itu sistem pendidikannya masih bersifat tradisional. Metode pengajaran yang diterapkan di pesantren berbeda dengan praktik pendidikan pada institusi pendidikan lainnya, yaitu sistem doktrinasi sang kyai kepada santrinya dengan metode pengajaran yang masih bersifat klasik seperti sistem bandongan, sorogan dan lain sebagainya. Metode pengajaran seperti ini biasanya diberlakukan di pesantren salaf atau lebih di kenal dengan metode salafi.
Dewasa ini arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam tatanan masyarakat dunia yang menyebabkan terciptanya masyarakat informasi (the informational society ) yang sulit untuk dihindari oleh Negara manapun di permukaan bumi ini termasuk Indonesia. Arus yang begitu cepat ini mengalami akselerasi dalam berbagai aspek khususnya dalam bidang pendidikan. Masyarakat informasi inilah yang secara tidak langsung menuntut banyak lembaga pendidikan tidak terkecuali pesantren, mau tidak mau mengalami modernisasi dalam segala aspek. Sebagai respon atas tantangan zaman tersebut sekarang ini tidak sedikit lembaga pesantren di Indonesia yang mulai membuka diri terhadap modernisasi dengan mengubah kurikulum tradisional dan beranjak pada suatu rumusan yang berbasis pada kebutuhan kontemporer. Sederhananya, para santri kini diharapkan tidak hanya mahir dalam penguasaan kitab kuning dan bahasa Arab saja, melainkan dibekali dengan bahasa Inggris, ilmu komputer dan ketrampilan pelengkap lainnya. Hal ini dimaksudkan agar nantinya kualitas output dari pesantren memiliki kelebihan dalam penguasaan sains dan tekhnologi yang dibarengi dengan pemahaman agama yang lebih mumpuni.
Tapi kemudian muncul masalah lain yang berkaitan dengan ini, pesantren dihadapkan pada dilema antara tradisi dan modernitas. Tradisi lama dari pesantren yang menampilkan watak yang khas dan eksotik dimana kyai masih menjadi figur sentral, norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri. Tapi yang terjadi sekarang sifat-sifat tersebut sudah mulai pudar, hal ini mungkin disebabkan oleh dampak lain dari modernisasi itu sendiri dimana banyaknya ilmu dan pemikiran-pemikiran baru yang masuk dan berkembang diluar kurikulum pesantren salaf. Hal ini tidak jadi soal apabila pihak pesantren dapat menyelaraskan antara tradisi dan modernisasi yang terjadi dengan tetap berpegang teguh pada kaidah ashuliyah “ al mukhafadhatu ala qadimi al sholih, wa al ahdhu bi al jadidi al ashlah” ( mempertahankan nilai-nilai/tradisi lama yang baik dan menerima nilai-nilai / tradisi baru yang lebih baik).
Kemudian dengan meramu tradisi dan modernitas secara serasi, nilai-nilai luhur pesantren tetap dipertahankan dan dikembangkan tetapi kita juga tidak menutup diri dengan perkembangan dunia modern. Nilai-nilai lama tetap menjadi pondasi untuk menyerap modernitas agar kita tidak larut pada dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari modernitas tersebut. Dengan kata lain dengan tradisi dan nilai-nilai luhur yang dimilikinya, pesantren dapat menyerap modernitas secara selektif tanpa kehilangan jati dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar